Isu terkait Taman Nasional Meratus kembali menjadi perhatian publik seiring mencuatnya kekhawatiran mengenai potensi ancaman terhadap kelestarian kawasan pegunungan yang menjadi penyangga ekologis utama Kalimantan Selatan tersebut.
Diketahui bahwa seluas 119.779 hektare kawasan Pegunungan Meratus diusulkan untuk ditetapkan sebagai Taman Nasional.
Berbagai kelompok masyarakat sipil, pemerhati lingkungan, mahasiswa, hingga tokoh publik menyoroti pentingnya untuk memastikan bahwa setiap kebijakan maupun aktivitas pembangunan di sekitar Meratus tidak mengabaikan aspek perlindungan lingkungan, keberlanjutan sumber daya alam, serta hak-hak masyarakat adat yang telah lama hidup berdampingan dengan kawasan tersebut.
Hal ini turut ditegaskan oleh Dr. Berry Nahdian Forqan,.S.P,.M.S (Mantan Direktur Eksekutif Walhi 2008-2012), menurutnya Kawasan Meratus sebagai salah satu jantung ekologis Pulau Kalimantan, memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan iklim, sumber air, keanekaragaman hayati, serta ruang hidup komunitas lokal.
Untuk itu, setiap rumor, rencana, atau kebijakan yang berpotensi berdampak pada kawasan ini langsung memantik respons luas dan dorongan agar pengelolaan kawasan Meratus dilakukan secara transparan dan berbasis kajian ilmiah yang komprehensif.
”Tidak boleh ada penggusuran, pemindahan, atau penghilangan hak masyarakat adat. Kami menilai bahwa setiap proses pembangunan harus mengutamakan prinsip keadilan, keterbukaan, dan perlindungan terhadap komunitas adat yang selama ini menjadi bagian penting dari lokalitas sosial budaya di daerah. Konservasi kawasan pegunungan meratus tidak boleh parsial dengan mengabaikan keberadaan masyarakat adat yang ada disana. Menjadikan Meratus sebagai Taman Nasional adalah bentuk pengabaian terhadap keberadaan masyarakat Adat Dayak yang ada di kawasan pegunungan Meratus," ungkapnya.
Kader PDI Perjuangan Kalsel ini mengingatkan, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah agar mengakomodasi dan menjalankan empat poin penting dalam Resolusi Meratus yang telah disampaikan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil.
Berry menilai resolusi tersebut merupakan suara kolektif yang lahir dari keresahan mendalam masyarakat adat dan para pegiat lingkungan terhadap potensi ancaman terhadap ruang hidup serta kelestarian Pegunungan Meratus.
”Empat poin resolusi itu bukan sekadar daftar tuntutan, tetapi representasi dari aspirasi rakyat yang harus diperlakukan sebagai indikator penting dalam perumusan kebijakan. Karena itu, Kami menegaskan bahwa pemerintah wajib memberikan ruang dialog yang adil, memastikan proses pengambilan keputusan berlangsung transparan, dan mengedepankan perlindungan hak-hak masyarakat adat," tambahnya
Pemerintah juga diminta tidak menutup mata terhadap risiko ekologis dan sosial apabila kebijakan konservasi tidak disertai pelibatan komunitas yang selama ini menjaga dan merawat kawasan Meratus. Dengan mengakomodasi resolusi tersebut, Berry berharap pemerintah dapat menunjukkan komitmen nyata terhadap pembangunan yang berkeadilan, partisipatif, dan berkelanjutan, serta memastikan Pegunungan Meratus tetap menjadi ruang hidup yang aman bagi masyarakat adat dan generasi mendatang.
Empat Resolusi Meratus yang menjadi tuntutan :
1. Menolak rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di wilayah adat Masyarakat Adat Meratus di Kalimantan Selatan.
2. Mendesak Gubernur dan DPRD Provinsi Kalimantan Selatan untuk segera menarik kembali pengajuan penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di Kalimantan.
3. Mendesak Kementerian Kehutanan Republik Indonesia untuk menghentikan seluruh proses penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan.
4. Mendesak kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk Mengimplementasikan Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. (Rel)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar tapi jangan bernuansa SARA.